Wasiat HB IX Yogyakarta Kota Republik - sinopsis

Yogyakarta menjadi termasyur oleh karena jiea kemerdekaannya. Hidupkanlah terus jiwa kemerdekaannya itu.


”Over mijn lijk heen!”

(Bila itu maksud Tuan, maka Tuan hanya bisa masuk Kraton ini dengan melangkahi mayat saya dulu)

Seluruh ruangan tercengang atas penolakan tegas Sri Sultan HB IX terhadap Belanda. Bagaimana tidak? Belanda telah merasa memberikan penawaran yang menggiurkan, yaitu menjadikan HB IX sebagai “Super Wali Nagari” atas Jawa dan Madura dalam kerangka negara federal versi penjajah. Kala itu, Sukarno-Hatta ditangkap Belanda dalam agresi militer Belanda kedua sehingga RI dalam kondisi tak bertuan. HB IX lah yang menjadi tumpuan harapan eksistensi RI di kancah internasional. HB IX dan Paku Alam VIII rela menyediakan fasilitas dan finansial untuk memperlancar roda pemerintahan RI. Kedudukan dan wibawa Sri Sultan HB IX sangat diperhitungkan oleh Belanda. Tak lain karena dunia internasional mengakui secara de jure dan de facto bahwa Nagari Ngayogyakarto Hadiningrat ada sebelum Republik ini berdiri.

HB IX dan Paku Alam VIII laksana dwi tunggal yang menjadi pemimpin daerah Yogyakarta. Dalam kepemimpinannya, HB IX menganut filosofi tahta untuk rakyat. Prinsip-prinsip kepemimpinan beliau diwariskan ke HB X. Baik HB IX maupun HB X memegang teguh prinsip bahwa mereka bersedia menjadi kepala daerah selama warga Yogya merestui dan mempercayai mereka. Demikianlah demokrasi ala Mataram yang sudah mengakar kuat hingga membudaya dalam sanubari warga Yogyakarta. Sepertinya demokrasi seperti ini tidak membuat nyaman pemerintah pusat sehingga RUU Keistimewaan DIY bertahun-tahun ditelantarkan. Rezim SBY ingin menghembuskan nilai-nilai demokrasi langsung ala barat yang jelas memungkinan DIY disusupi multikepentingan oleh para petualang. Kami berharap pemerintahan SBY ingat dan memahami tentang sejarah keistimewaan DIY. Harap dicamkan, DIY bukanlah daerah yang merengek untuk diistimewakan, tapi keistimwewaan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai embrio internasionalisasi kemerdekaan NKRI sudah diakui dan dihormati oleh para founding fathers Republik Indonesia.

Itulah Yogyakarta, Sultan, dan segala eksistensinya. Wilayah ini bukan sekadar areal dan pemukiman penduduk. Namun juga sebuah kerajaan dengan segala adat istiadatnya, kebijaksanaan hidup, dan sebuah kejayaan. Kebesaran Kasultanan Yogyakarta telah diakui dunia, dan mengakibatkan Indonesia turut melambung namanya. Kedaulatan Yogyakarta adalah kuasa Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam yang bertanggung jawab langsung terhadap pemerintah Indonesia. Sebuah sejarah yang tak boleh ditiadakan begitu saja perjuangannya. Dan ketika sebuah pernyataan muncul dari bibir seorang kepala negara yang menyinggung eksistensi Yogyakarta, tak heran bila banyak pihak meradang.

Salah omong, tidak faham tentang Undang-Undang, atau memang belum mempelajari sejarah keistimewaan DIY. Komentar sinis itu menghujam untuk mementahkan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengidentifikasi DIY sebagai representasi dari sistem monarki yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Pertanyaannya, apakah SBY menilai penetapan Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paduka Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY sebagai pengejawantahan wajah monarki? Dan perlu digarisbawahi, apakah SBY sadar bahwa DIY selama ini patuh mengikuti aturan otonomi daerah?

Meski SBY sudah mengklarifikasi ucapannya, warga Yogya terlanjur kecewa dengan ucapan pemimpin nomer satu RI itu. Spontan, puluhan ribu warga Yogya lantang memprotes dan mengumandangkan Amanat 5 September 1945 untuk mengingatkan pemerintah terkait perjanjian integrasi Nagari Ngayogyakarto Hadiningrat ke NKRI. Suara akar rumput itu pun diamini oleh mayoritas fraksi DPRD DIY minus Partai Demokrat dalam sidang paripurna DPRD DIY yang membahas polemik Keistimewaan DIY pada 13 Desember 2010. Hasilnya, aspirasi warga Yogya memutuskan bahwa DIY tetap Daerah Istimewa dan menetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam sebagai Kepala Daerah DIY. Namun lagi-lagi, pemerintah masih menafikkan suara warga Yogyakarta itu. Mendagri Gamawan Fauzi enggan mengakui keputusan mayoritas DPRD DIY. Ia bahkan mengatakan bahwa menurut survey pemerintah, sekitar 71 persen warga Yogya menghendaki Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih secara langsung. Patut dipertanyakan, agenda politis serta latar belakang apa yang membuat pemerintah bersikukuh mengevaluasi keistimewaan DIY tanpa mempertimbangkan aspek historis, budaya, serta terkesan ogah-ogahan melibatkan sumbangsih pemikiran dari warga Yogya sendiri? Pemerintah ngotot, warga Yogya meradang, sementara Sri Sultan HB X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai kepala daerah DIY pasrah bongkokan pada suara warga Yogya dan menolak mengeluarkan pernyataan sikap.

“Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Begitulah pesan Sukarno sang Proklamator Indonesia yang sangat relevan untuk mengonstruksi kembali keistimewaan DIY. Sejarah berdirinya NKRI tak bisa dilepaskan dengan keberadaan Yogyakarta karena di masa revolusi, Yogyakarta yang dipimpin HB IX dan PA VIII berjuang melawan penjajah demi kemerdekaan Indonesia lewat pergerakan pemuda, diplomasi, hingga senjata. Berkat dukungan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat terhadap kemerdekaan RI itulah, pada 19 Agustus 1945, Presiden Sukarno membuat dan menandatangani piagam kedudukan yang menekankan bahwa Pemerintah RI memberikan kedudukan dan kepercayaan penuh bahwa kedua penguasa Yogya akan mengabdi secara total kepada RI. Penegasan atas kedudukan dan tanggung jawab itu dituangkan oleh HB IX dan PA VIII dalam Amanat 5 September 1945 yang disetujui oleh Sukarno, Presiden Pertama RI. Momentum itu menjadi tonggak bergabungnya Nagari Ngayogyakarto Hadiningrat ke dalam keluarga besar NKRI.

Barangkali, sedikit yang mengetahui bahwa sebetulnya bukan pertama kali ini saja keistimewaan DIY diusik. Status keistimewaan DIY telah dipergunjingkan sejak orde lama, berlanjut ke orde baru dan selanjutnya orde reformasi. Pada zaman orde lama, pascaamanat 5 September 1945, pemerintah pusat sempat menawarkan konsep pengangkatan Komisaris Tinggi sebagai penghubung antara Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII dengan pemerintah pusat. Namun HB IX dan Paku Alam VIII menolak keberadaan Komisaris Tinggi. Bahkan menilai bahwa posisi Komisaris Tinggi itu tak ubahnya Gubernur dalam zaman penjajahan Belanda dan Koti Zimu Koku Tyokan pada zaman penjajahan Jepang.

Di zaman kepemimpinan Soeharto, status Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa sempat akan dihapuskan. Tak ada polemik berarti dalam masyarakat kala itu, mengingat pemerintahan dipegang oleh rezim anti demokrasi. Reaksi hanya muncul secara merangkak, yakni percikan ketegangan yang terjadi di kalangan elit. Hamengkubuwono IX pun memilih mengunci mulutnya saat berada di depan publik. Adanya kompromi di tingkat elit itulah, membuat status keistimewaan DIY tetap terjaga. Ibarat bom waktu, ledakan penggembosan status keistimewaan DIY kembali berulang di masa periode kedua pemerintahan SBY. Seperti diketahui, DIY sebagai daerah istimewa pada prinsipnya diatur dalam UUD’45 pasal 18 yang dalam praktiknya diatur dengan Undang-Undang. Tapi ironisnya, pemerintah pusat sendirilah yang mengingkari semangat UUD’45.

Membaca ulang sejarah Yogyakarta, membuat kita bertanya-tanya kembali. Apakah ada agenda besar di balik polemik ini? Dua kali wilayah istimewa ini digoncang isu yang sama, secara mendadak, tanpa wacana berarti yang ditiupkan sebelumnya. Seolah-olah menggerogoti ketenangan Yogyakarta secara frontal.

Buku ini mengajak kita semua untuk membuka kembali lembaran sejarah mengenai berbagai kesepakatan yang pernah terjadi antara founding father Indonesia dengan Sri Sultan HB IX. Mari berpikir dengan bijak, berdialektika dengan tenang, dan merumuskan sesuatu dengan cerdas. Vox Populi Vox Dei. Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Comments