Yogya istimewa sebelum DIY lahir

tugu jogja


Ibarat fenomena gunung es, polemik RUU Keistimewaan DIY mencapai klimaksnya setelah satu dekade lebih mengambang tak ada kejelasan. Pro kontra daerah istimewa ini mengemuka menjadi headline media massa menyusul komentar presiden SBY yang mengatakan tidak mungkin ada sistem monarki di republik ini. Sang presiden secara tidak langsung menyinggung sistem kerajaan di Yogyakarta yang dipimpin raja merangkap gubernur sebagai kepala daerahnya. Pemerintah bersandar pada pasal 18 B ayat 4 UUD 1945 yakni kepala daerah dipilih secara demokratis. Ini artinya secara tegas pemerintah menginginkan demokrasi lokal tumbuh di DIY dengan melangsungkan pemilukada. Tetapi gagasan ini ditolak masyarakat Jogja yang lebih mendukung penetapan dengan pertimbangan aspek kesejarahan dan stabilitas pemerintahan kasultanan dalam mengayomi kawula (masyarakat) Jogja. Sidang paripurna terbuka DPRD DIY yang dilangsungkan Senin, 13 Desember 2010 menyimpulkan mendukung penetapan dan akan menyampaikan aspirasi warga Yogya ke pemerintah pusat.
Maka untuk menjembatani antara pemilihan dan penetapan inilah Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) UGM yang mendapat mandat pemerintah pusat untuk membuat naskah akademik RUU Keistimewaan DIY menawarkan konsep Pararadya. Lembaga ini adalah institusi khusus sebagai representasi keraton Kasultanan dan Puro Pakualaman yang memiliki kewenangan memberikan arahan masukan tentang kebijakan pemerintahan di Yogyakarta, mempunyai hak veto terhadap peraturan daerah, dan berhak menolak atau menyetujui bakal calon kepala daerah dan wakilnya yang akan dipilih warga Jogja (Republika, 2 Desember 2010).
Di dalam draf RUUK yang sudah diajukan ke DPR ini pemerintah pusat berencana membentuk institusi monarki yang terdiri dari Sultan (gubernur utama), Pakualaman (wakil gubernur utama), serta kerabat keraton dan institusi demokrasi yang diisi gubernur yang menjalankan tugas keseharian dengan cara dipilih oleh rakyat terlebih dahulu. Gubernur harian akan bertanggung jawab kepada Keraton dan pemerintah pusat.
Nalar yang dibangun pemerintah pusat ialah sistem pemerintahan adalah metode atau cara untuk mewujudkan tujuan. Oleh sebab itu, dapat diubah sewaktu-waktu untuk mempercepat atau agar pencapaian tujuan efektif dan efisien. JIP menambahkan kasultanan dan pakualaman adalah kerajaan feodal hierarkis dengan raja yang diperoleh melalui turun temurun (ascribed status). Konklusinya adalah kepemimpinan otomatis Sultan dan Pakualaman tidak demokratis. Publik juga turut memikirkan bagaimana suksesi kepemimpinan nanti, jika Sultan tidak memiliki anak lelaki seperti sekarang ini? Apakah gubernur dan raja nantinya akan anak perempuan? Bagaimana pula jika kapasitas memimpin sang ayah tidak dimiliki anak tertua?
Desentralisasi Asimetris
Rasionalisasi yang dibuat pemerintah pusat cukup kuat dan logis. Tetapi penulis tidak sependapat dengan cara pandang pemerintah pusat bahwa demokrasi harus pemilihan langsung. Demokrasi tak selalu melibatkan rakyat untuk memilih, contohnya walikota DKI diangkat langsung oleh gubernur, Papua memiliki Majelis Rakyat Papua yang dapat berperan mengontrol jalannya pemerintahan di luar DPRD Provinsi. Konstitusi Pasal 18 B ayat 1 UUD 1945 menjelaskan “negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur menurut UU”. Otonomi khusus dan keistimewaan memang menjadi isu sensitif dalam rentang waktu satu dekade terakhir. Jika ditelisik penisbatan otonomi khusus kepada Papua dan Aceh ialah untuk meredam gejolak disintegrasi yang menyeruak di dua kawasan itu (Vivit Nur Arista Putra).
KOMPAS, 13 Desember 2007 menyebutkan kisaran waktu 2005-2007 Papua mendapat kucuran dana dari pusat lebih dari 41 Trilyun. Otonomi khusus yang diberlakukan sejak 2001 ini juga memberikan kelonggaran pada Aceh untuk menerapkan syari’at Islam. Apakah ketiga provinsi DKI Jakarta, Papua, dan Aceh tidak demokratis? Tidak, sebab undang-undang menjaminnya. Inilah yang disebut dengan desentralisasi asimetris (beragam atau ada pengecualiaan untuk daerah tertentu). Kebijakan ini dalam ilmu hukum dinamakan diskriminasi positif. Begitupun dengan DIY, menurut UUD 1945 sebelum diamandemen. Sebuah daerah dinyatakan daerah istimewa jika mempunyai susunan asli. Pada bagian penjelas dari Pasal 18 diuraikan “dalam teritori negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun, dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa”. Jika demikian Yogyakarta dapat disebut memiliki susunan asli pemerintahan berbentuk kerajaan sejak 1756 dan dapat disebut daerah istimewa.
Dari Yogya untuk Indonesia
Struktur pemerintahan dapat dikatakan asli jika keberadaannya sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Menurut catatan sejarah Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat sistem pemerintahannya berbentuk kerajaan dan rajanya secara turun temurun bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono sudah ada sejak 1756 atau dua setengah abad lebih sebelum Indonesia berdiri. Bahkan Yogyakarta turut serta membidani kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurut (Sujamto, 1988) sebagaimana dikutip Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo (2010) menyebutkan di (hlm 9)
“Kasultanan kala itu dibagi menjadi lima kabupaten dan satu kabupaten kota. Masing-masing dikepalai seorang panji distrik. Setiap kepanjen terdiri dari beberapa daerah asistenan (onderdistrik) yang masing-masing dikepalai oleh seorang asisten panji. Setiap asistenan terdiri dari beberapa desa”.
Dalam buku Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya dikisahkan, pada zaman pendudukan Jepang (1942-1945). Bangsa Nipon berusaha untuk menanamkan bibit perselisihan antara Kasultanan dengan Pakualaman. Merespon sikap itu keduanya tak terpengaruh, dan sebaliknya malah terjadi reunifikasi antar keduanya untuk memperkuat diri dan mencegah pengaruh negeri matahari terbit lebih luas di pulau Jawa.
Mendengar berita proklamasi kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Pakualaman VIII berdiskusi. Akhirnya dibuatlah keputusan politis untuk bergabung dengan NKRI dengan mengirimkan surat kawat ke Jakarta. Sebenarnya setelah Jepang pergi, kans untuk mendirikan sebuah negara terbuka lebar. Jika merujuk hukum internasional, prasyarat didirikannya negara ialah mempunyai susunan pemerintahan, teritorial, dan rakyat. Kesemuanya dimiliki Yogyakarta. Tetapi karena kebesaran hati, Sri Sultan HB IX dan Pakualaman VIII, Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat rela mengasuh bayi NKRI.
Mendengar berita tersebut Soekarno sangat menghargai dan segera membuat piagam kedudukan untuk keduanya yang ditulis di Jakarta, 19 Agustus 1945. Tetapi karena kondisi yang sulit piagam itu sampai di Yogya beberapa waktu kemudian yakni 6 September 1945. Piagam kedudukan berbunyi “kami presiden republik Indonesia menetapkan Sri Sultan Hemengkubuwono IX dan Pakualaman VIII pada kedudukannya, dengan kepercayaan untuk mencurahkan segala fikiran, tenaga, jiwa, dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta dan Pakualaman sebagai bagian dari republik Indonesia”.
Menanggapi piagam di muka, terjadi deal komitmen Sri Sultan HB IX dan Pakualaman mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan maklumat 5 September 1945 yang berisi. Pertama, bahwa Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari negara republik Indonesia. Kedua, bahwa kami sebagai kepala daerah memegang kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya. Ketiga, bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah pusat negera Republik Indonesia bersifat langsung dan kami bertanggung jawab atas negeri kami langsung ke presiden republik Indonesia.
Intisari pernyataan sikap di atas adalah, pertama Yogyakarta berbentuk monarki. Kedua, kekuasaan Sultan atas teritorial dan lembaga pemerintahan di dalamnya. Ketiga, akuntabilitas pengelolaan otoritas, khusus kepada Presiden republik Indonesia. Sebenarnya, Sri Sultan HB IX dan Pakualaman VIII mengeluarkan amanatnya sendiri-sendiri. Oleh sebab itu, pada tahap berikutnya Sri Sultan HB IX dan Pakualaman VIII mengeluarkan amanat bersama 30 Oktober 1945, yang menerangkan pertama Yogya hanya ada satu daerah istimewa. Kedua, daerah istimewa itu belum dinamakan DIY, tetapi daerah istimewa negara republik Indonesia. Ketiga, baik Sri Sultan HB IX dan PA VIII keduanya berstatus sebagai kepala daerah istimewa dan disebut dengan kepemimpinan dwitunggal.
Pada titik ini, publik dapat menarik benang merah letak keistimewaan Yogyakarta. Bahwa demokrasi tak melulu melalui pemilihan umum, tetapi dapat menggunakan musyawarah mufakat dengan kesepakatan bersama antara pemerintah pusat dengan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan mencermati isi maklumat 5 September 1945. Artinya format kerajaan adalah dipimpin seorang raja yang memimpin generasi ke generasi sesuai trahnya dan ditetapkan langsung oleh presiden.
Jika ditinjau lebih jauh penisbatan Yogya sebagai daerah istimewa selain memiliki susunan asli, selain itu juga dijadikan tempat perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pasca deklarasi kemerdekaan republik Indonesia, Jakarta mendapat serbuan kembali dari Belanda yang ingin menjajah lagi Indonesia. Sultan membuktikan komitmennya tak sekadar dalam perkataan dan tulisan. Tetapi juga sikap yang konkret. Mencermati perkembangan ini, rasa empati Sri Sultan HB IX muncul dengan menawarkan Yogya sebagai ibukota untuk menjalankan roda pemerintahan (1946-1950). Yogya menopang banyak fasilitas, finansial, dan tenaga juang untuk melancarkan revolusi kemerdekaan. Agresi Belanda berhasil menangkap Soekarno dan Hatta pada 19 Desember 1948. Terjadi kevakuman pemerintahan, maka Sri Sultan HB IX memainkan perannya. Tersiar kabar bahwa persoalan Belanda-RI akan dibahas di PBB. Maka atas ide Sultan digelarlah serangan umum 1 Maret 1949 yang dipimpin Letkol Soeharto untuk menaikkan daya tawar di mata dunia bahwa NKRI masih ada. Perjuangan diplomasi pun diperagakan dengan dilangsungkannya konferensi tiga negara yang bermuara dihelatnya konferensi Meja Bundar di Den Haag yang 1949 yang hasilnya mengakui kedaulatan NKRI dengan Yogya sebagai episentrum perjuangan.
Presiden Soekarno dan Soeharto sangat menghormati keistimewaan Yogya karena merasakan bagaimana komitmen dan daya juang Yogya menjunjung NKRI. Kini status keistimewaan itu mulai diusik karena perspektif rezim terhadap regulasi yang berbeda lantaran mengidap penyakit amnesia sejarah. RUUK Yogya kreasi pemerintah pusat dengan membagi institusi monarki dan demokrasi, secara tidak langsung melucuti hak dan kewenangan sultan serta hanya menjadikannya sebagai simbol. Aspek historis hendaknya dijadikan pertimbangan paling fundamental untuk menyusun UU dibanding segi sosial politik. Dengan demikian kekhasan daerah istimewa tidak punah dan terkontaminasi tata aturan baru yang berseberangan dengan sejarah yang muaranya ditolak masyarakatnya setempat.

Baskoro, Haryadi dan Sudomo Sunaryo. 2010. Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya, Yogyakarta; Pustaka Pelajar
BERNAS Jogja, 1 Oktober 2010
Jurnal Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) Fisipol UGM. 2010. Policy Brief Menata Ulang Desain Desentralisasi di Indonesia. Yogyakarta; UGM
KOMPAS, 13 Desember 2007
Republika, 2 Desember 2010
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Comments