Banyak beredar informasi bahwa awal shaum Ramadhan 1434 H akan
bertepatan dengan hari Selasa, 9 Juli 2013. Selain itu, banyak juga
informasi lain menyatakan bahwa awal shaum Ramadhan kemungkinan akan
dimulai pada Rabu, 10 Juli 2013. Mendapati
berbedanya informasi itu, sebagian kita mungkin bingung harus mengikuti
yang mana. Untuk menguraikan penyebab adanya dua informasi yang berbeda
itulah, pada tulisan ini akan dibahas informasi astronomis Hilal dan
penerapannya pada kriteria hisab yang berbeda serta prediksi kemungkinan
teramati atau tidaknya Hilal penentu awal Ramadhan 1434 H nanti.
Secara umum, ijtima’ adalah peristiwa “berkumpul/berdekatannya” Bulan dengan Matahari, saat dilihat dari Bumi. Istilah ini dalam astronomi dikenal dengan nama konjungsi, yaitu ketika bujur ekliptika Bulan sama dengan bujur ekliptika Matahari dengan pengamat diandaikan berada di pusat Bumi. Bujur ekliptika adalah salah satu bagian dari tata koordinat ekliptika; salah satu tata koordinat dalam astronomi yang digunakan untuk menentukan posisi objek-objek tata surya. Padanan bujur ekliptika adalah bujur geografis, yang bersama lintang geografis dapat digunakan untuk menentukan posisi suatu kota di permukaan Bumi.
Berbeda dengan posisi bujur geografis suatu kota di permukaan Bumi yang relatif tetap, setiap hari nilai bujur ekliptika Bulan dan Matahari akan selalu berbeda. Penyebab utamanya perbedaan ini adalah laju gerak keduanya yang tidak seragam. Hanya setelah mencapai waktu sekitar 29,5 hari-lah keduanya akan kembali berada pada bujur ekliptika yang sama, meskipun nilainya berbeda dari sekitar 29,5 hari sebelumnya. Waktu 29,5 hari ini dikenal dengan siklus sinodis Bulan atau waktu dari satu fase ke fase yang sama di bulan berikutnya, misalnya dari fase bulan Baru ke bulan Baru berikutnya.
Berdasarkan perhitungan kejadian ini diprediksikan akan terjadi kembali pada Senin, 8 Juli 2013, jam 7:14 UT atau 14:14 WIB. Pada saat itu nilai bujur ekliptika Bulan dan Matahari akan sama, yaitu 106,299º. Kita juga dapat menghitung periode sinodis Bulan terhitung sejak konjungsi sebelumnya hingga konjungsi yang akan datang ini adalah 29 hari 15 jam 18 menit. Ini artinya, satu siklus sinodis Bulan tidaklah tepat 29,5 hari namun mungkin akan lebih kecil atau lebih besar dari nilai tersebut.
Mengingat pergantian hari dan tanggal dalam kalender Islam terjadi saat Matahari terbenam, kita juga harus meninjau waktu terbenam Matahari pada hari terjadinya konjungsi tersebut atau sehari sesudahnya. Hal ini diperlukan untuk membandingkan apakah waktu konjungsi tersebut terjadi sebelum Matahari terbenam di wilayah yang ditinjau ataukah setelahnya. Berdasarkan perhitungan, Matahari terbenam di Indonesia pada 8 Juli 2013 paling awal terjadi pada pukul 17 : 33 WIT di Merauke, Papua, dan paling akhir terjadi pada pukul 18 : 57 WIB di Sabang, Aceh. Sebagai tambahan, kita juga dapat menghitung waktu terbenamnya Matahari di kota Yogyakarta (kota yang dijadikan sebagai kota acuan dalam hisab yang digunakan oleh Muhammadiyah) dan kota Pelabuhan Ratu (kota yang dijadikan sebagai kota acuan dalam hisab yang digunakan oleh Pemerintah dan sejumlah organisasi). Di kota Yogyakarta Matahari terbenam pukul 17 : 34 WIB. Adapun di kota Pelabuhan Ratu Matahari terbenam pukul 17 : 51 WIB. Dari perbandingan antara waktu konjungsi dan waktu Matahari terbenam di semua kota di atas, kita ketahui bahwa bahwa konjungsi terjadi sebelum Matahari terbenam tanggal 8 Juli 2013 di seluruh wilayah Indonesia.
Data astronomis Bulan yang penting untuk diketahui saat Matahari terbenam adalah tinggi Bulan/Hilal, Elongasi atau jarak sudut antara Bulan dan Matahari, Umur Bulan yaitu selisih waktu antara Matahari terbenam di suatu lokasi dengan saat konjungsi, Lag yaitu selisih waktu terbenam Bulan dan Matahari, dan fraksi Illuminasi Bulan. Data tersebut dirangkum sebagai berikut:
Sebagaimana diuraikan di atas dalam penentuan awal bulan Hijriah di Indonesia sendiri, tinggi Hilal-lah yang sangat dikenal hingga saat ini. Peta ketinggian Hilal di Indonesia saat Matahari terbenam tanggal 8 Juli 2013 dapat dilihat pada Gambar 1. Sebagaimana dimaksud BMKG, tinggi Hilal pada Gambar 1 ini adalah tinggi pusat piringan Bulan dengan efek refraksi telah diikutsertakan dalam perhitungan dan elevasi lokasi pengamat dianggap 0 meter dari atas permukaan laut.
Tinggi Hilal yang pada Gambar 1 di atas bisa jadi berbeda dengan
tinggi Hilal yang dimaksud oleh yang lain. Hal ini tentu saja akan
menambah kebingungan kita dalam memahami penyebab perbedaan awal bulan
Hijriah, jika kita tidak hati-hati.
Perbedaan paling utama dalam hal ini adalah titik acuan tinggi Hilal pada piringan Bulan, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2. Hingga saat ini titik acuan tinggi Bulan yang digunakan secara standar oleh astronom di dunia, adalah titik tengah piringan Bulan, yaitu titik A, terlepas dari apapun fase Bulan saat itu. Adapun titik acuan tinggi Hilal yang digunakan oleh banyak ormas di Indonesia dan Pemerintah (berdasarkan Keputusan Lokakarya Mencari Format Kriteria Awal Bulan Hijriah di Indonesia Tahun 2011 di Cisarua, Bogor) adalah titik terbawah pada piringan bawah Bulan, yaitu titik B. Sementara titik acuan tinggi Hilal yang digunakan oleh Muhammadiyah adalah piringan teratas Bulan, yaitu titik C. Sementara titik D digunakan sebagai acuan oleh para pemburu Hilal dengan teleskop dan detektornya. Hal ini dapat dilihat, misalnya pada perangkat lunak Accurate Times yang digunakan oleh M. S. Odeh. Ketinggian titik D ini akan selalu berada antara ketinggian titik A dan B, bergantung pada konfigurasi posisi Bulan, Matahari dan letak geografis pengamat.
Sebagaimana kita tahu, Bulan adalah benda bulat dan dari kejauhan akan tampak berupa piringan, terlepas ia dalam fase apapun. Satu piringan Bulan yang tampak dari Bumi (jarak sudut antara titik B dan C di ilustrasi di atas) adalah sekitar 0,5º. Karena itu dengan mudah dapat dikatakan bahwa jarak sudut antara titik A ke titik B, C atau D adalah sekitar 15’ atau sekitar 0,25º. Dengan memperhatikan ilustrasi di atas juga kita akan mengetahui bahwa tinggi Hilal yang dinyatakan oleh Muhammadiyah akan berbeda sekitar 0,5º dari tinggi Hilal yang dinyatakan oleh ormas lain, misalnya Nahdatul Ulama (NU). Meskipun nilai di atas kecil, namun akan sangat menentukan awal awal bulan Hijriah; khususnya jika ketinggian Hilal berada pada nilai yang kritis.
Aplikasi Informasi Astronomis Hilal Pada Berbagai Hisab Dengan Kriteria yang Berbeda
Saat ini dikenal beragam kriteria hisab dan tiga diantaranya dikenal dan diterapkan oleh sejumlah organisasi di Indonesia. Kini kita akan membahas aplikasi informasi astronomis Hilal yang dibahas pada bagian sebelumnya pada tiga kriteria hisab yang digunakan di Indonesia. Ketiga kriteria tersebut adalah Wujudul Hilal yang digunakan oleh Muhammadiyah, kriteria Imkanurrukyat MABIMS yang digunakan oleh sejumlah organisasi dan Pemerintah, dan kriteria Imkanurrukyat LAPAN yang digunakan oleh Persatuan Islam (Persis).
a. Wujudul Hilal
Kriteria Wujudul Hilal ini dapat dilihat pada Pedoman Hisab Muhammadiyah [6: hlm. 78]. Isinya adalah:
Karena Muhammdiyah menyatakan bahwa pada saat terbenamnya Matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud), sesungguhnya secara astronomis hal ini setara dengan pernyataan bahwa “Bulan terbenam lebih lambat daripada terbenamnya Matahari”. Saat Bulan terbenam sama dengan saat terbenamnya Matahari itulah yang dinyatakan dengan Lag = 0. Jadi, kita dapat mengetahui di daerah mana saja yang Lag-nya 0 atau positif atau negatif dari peta Lag. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3 berikut. Pada Gambar 3 tersebut, kita lihat bahwa garis wujudul hilal (setara dengan Lag = 0) membelah Indonesia. Hal inilah yang memaksa kita untuk memahami suatu konsep yang disebut “Wilayatul Hukmi” yang diterapkan oleh Muhammadiyah. Sederhananya, konsep ini adalah jika di suatu daerah (dalam hal ini kota Yogyakarta) Lag-nya sudah > 0, maka daerah lain yang masih satu wilayah hukum (dalam hal ini satu negara Indonesia) dianggap mengikuti daerah acuan tersebut, walaupun daerah lain itu Lag-nya < 0. Dengan demikian, pada saat Matahari terbenam di Indonesia, ketiga unsur dalam kriteria wujudul hilal di atas terpenuhi hasil-hasil sudah terpenuhi di Indonesia secara keseluruhan.
Konsekuensi dari uraian di atas adalah pada saat Matahari terbenam di
Indonesia tanggal 8 Juli 2013, bulan Hijriah telah berganti dari bulan
Sya’ban ke bulan Ramadhan 1434 H. Dengan demikian, menurut Muhammadiyah,
shalat Tarawih dimulai pada 8 Juli 2013 malam tersebut dan shaum
Ramadhan dimulai pada 9 Juli 2013.
b. Imkanurrukyat MABIMS
Kriteria Imaknurrukyat MABIMS atau yang dikenal juga dengan kriteria 2-3-8 dapat dilihat pada hasil Keputusan Lokakarya Mencari Format Kriteria Awal Bulan Hijriah di Indonesia Tahun 2011 [5]. Isinya adalah:
Hal inipun berlaku di seluruh Indonesia, karena tinggi Hilal tertinggi, elongasi terbesar dan umur Bulan terlama belum memenuhi kriteria MABIMS di seluruh Indonesia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa saat Matahari terbenam di Indonesia tanggal 8 Juli 2013, berdasarkan kriteria MABIMS ini, bulan Hijriah belum berganti dari bulan Sya’ban ke bulan Ramadhan 1434 H. Dengan demikian, bulan Sya’ban akan diistikmalkan (dibulatkan) menjadi 30 hari. Konsekuensinya, shalat Tarawih dimulai pada 9 Juli 2013 malam dan shaum Ramadhan dimulai pada 10 Juli 2013.
c. Imkanurrukyat LAPAN
Kriteria Imkanurrukyat LAPAN ini diusulkan oleh Thomas Djamaluddin dan diterapkan oleh Persis. Isi kriterianya adalah:
Prediksi Kemungkinan Teramati Tidaknya Hilal Penentu Awal Ramadhan 1434 H
Selain prediksi awal Ramadhan 1434 H, prediksi lain yang juga penting untuk diketahui, khususnya bagi para perukyat, adalah prediksi teramati tidaknya Hilal penentu awal Ramadhan 1434 H. Berdasarkan uraian di atas, kita sebenarnya sudah bisa mengetahui kemungkinan teramati tidaknya Hilal setelah Matahari terbenam pada tanggal 8 Juli 2013 nanti. Sebagai catatan, dalam hal ini kita tidak bisa menggunakan kriteria wujudul hilal untuk memprediksikan kemungkinan teramatinya Hilal karena ia hanya berguna untuk memprediksikan awal bulan Hijriah. Dalam hal ini dapat menggunakan kriteria Imkanurrukyat MABIMS dan kriteria Imkanurrukyat LAPAN; terlepas dari ilmiah tidaknya masing-masing kriteria tersebut. Ini karena imkanurrukyat sendiri adalah kemungkinan teramati tidaknya Hilal. Secara astronomis, istilah ini dikenal dengan nama visibilitas Hilal dan kriterianya dikenal dengan nama kriteria visibilitas Hilal.
Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, kita ketahui bahwa kriteria imkanurrukyat MABIMS dan kriteria imkanurrukyat LAPAN belum terpenuhi saat Matahari terbenam pada tanggal 8 Juli 2013 nanti. Jika saat Matahari terbenam saja sudah tidak terpenuhi apakah lagi setelah Matahari terbenam. Ini karena ketinggian Bulan yang rendah saat Matahari terbenam. Semakin bertambahnya waktu, ketinggiannya pun akan semakin rendah dan akhirnya terbenam. Karena itulah berdasarkan kedua kriteria di atas, kemungkinan Hilal untuk teramati sangatlah kecil, jika tidak dikatakan tidak bisa.
Hal itu pun diperkuat dengan prediksi visibilitas Hilal berdasarkan kriteria Odeh yang mengikutsertakan faktor lebar sabit Hilal dalam prediksinya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah yang dihasilkan dari perangkat lunak Accurate Times. Pada Gambar 4, di bawah daerah yang diarsir berwarna merah adalah saat Matahari terbenam Hilal sudah di bawah horizon (setara dengan Lag < 0). Karena itu perbatasan antara daerah yang diarsir berwarna merah dengan daerah yang tidak diarsir (berawarna putih) adalah garis wujudulhilal. Untuk daerah Indonesia, garis ini bertepatan dengan garis Lag = 0 pada Gambar 3 di atas.
Dalam hal ini kita juga perlu untuk memperhatikan daerah yang diarsir di sekitar Australia dan Indonesia Timur. Garis yang membelah Australia dan Indonesia timur itu adalah garis umur Bulan, dengan konjungsinya dianggap sebagai konjungsi toposentrik (konjungsi berdasarkan pengamat di permukaan Bumi). Definisi konjungsi yang digunakan oleh Odeh ini berbeda dengan konjungsi yang umum digunakan di Indonesia, yaitu konjungsi geosentrik (pengamat diandaikan berada di pusat Bumi). Pada daerah yang tidak diarsir (berawarna putih) adalah daerah dengan kemungkinan teramatinya Hilal sangat kecil (not possible). Adapun Hilal diprediksikan baru akan teramati di daerah yang diarsir berwarna biru. Itu pun dengan bantuan penggunaan alat, misalnya teleskop. Baru pada daerah yang diarsir dengan berwarna ungu-lah, Hilal baru mungkin teramati tanpa bantuan alat.
Dengan memperhatikan peta visibilitas Hilal ini, dapat disimpulkan bahwa kemungkinan Hilal untuk teramati dari daerah Indonesia dengan lag yang negatif adalah tidak mungkin. Adapun kemungkinan Hilal untuk teramati dari daerah Indonesia dengan lag yang positif adalah sangat kecil, jika tidak dikatakan tidak bisa (not possible).
Catatan penting: Tulisan ini hanya memaparkan hasil perhitungan astronomis tentang Hilal dan penggunaannya pada kriteria hisab yang berbeda serta prediksi kemungkinan teramati atau tidaknya Hilal penentu awal Bulan Ramadhan 1434 H. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menentukan awal bulan Ramadhan 1434 H, karena yang berwenang untuk menentukan hal itu adalah pihak yang berwenang.
SOURCE : http://langitselatan.com/2013/07/07/prediksi-awal-ramadhan-1434-h-dan-kemungkinan-teramati-hilal-8-juli-2013/
Informasi Astronomis Hilal
Dalam memahami pergantian awal bulan Hijriah, setidaknya beberapa infromasi astronomis Hilal berikut harus diketahui:
Dalam memahami pergantian awal bulan Hijriah, setidaknya beberapa infromasi astronomis Hilal berikut harus diketahui:
- Waktu Ijtima’ atau Konjungsi atau fase Bulan Baru atau fase Bulan Mati.
- Waktu terbenam Matahari di lokasi yang ditinjau.
- Posisi Bulan saat Matahari terbenam di lokasi yang ditinjau.
Secara umum, ijtima’ adalah peristiwa “berkumpul/berdekatannya” Bulan dengan Matahari, saat dilihat dari Bumi. Istilah ini dalam astronomi dikenal dengan nama konjungsi, yaitu ketika bujur ekliptika Bulan sama dengan bujur ekliptika Matahari dengan pengamat diandaikan berada di pusat Bumi. Bujur ekliptika adalah salah satu bagian dari tata koordinat ekliptika; salah satu tata koordinat dalam astronomi yang digunakan untuk menentukan posisi objek-objek tata surya. Padanan bujur ekliptika adalah bujur geografis, yang bersama lintang geografis dapat digunakan untuk menentukan posisi suatu kota di permukaan Bumi.
Berbeda dengan posisi bujur geografis suatu kota di permukaan Bumi yang relatif tetap, setiap hari nilai bujur ekliptika Bulan dan Matahari akan selalu berbeda. Penyebab utamanya perbedaan ini adalah laju gerak keduanya yang tidak seragam. Hanya setelah mencapai waktu sekitar 29,5 hari-lah keduanya akan kembali berada pada bujur ekliptika yang sama, meskipun nilainya berbeda dari sekitar 29,5 hari sebelumnya. Waktu 29,5 hari ini dikenal dengan siklus sinodis Bulan atau waktu dari satu fase ke fase yang sama di bulan berikutnya, misalnya dari fase bulan Baru ke bulan Baru berikutnya.
Berdasarkan perhitungan kejadian ini diprediksikan akan terjadi kembali pada Senin, 8 Juli 2013, jam 7:14 UT atau 14:14 WIB. Pada saat itu nilai bujur ekliptika Bulan dan Matahari akan sama, yaitu 106,299º. Kita juga dapat menghitung periode sinodis Bulan terhitung sejak konjungsi sebelumnya hingga konjungsi yang akan datang ini adalah 29 hari 15 jam 18 menit. Ini artinya, satu siklus sinodis Bulan tidaklah tepat 29,5 hari namun mungkin akan lebih kecil atau lebih besar dari nilai tersebut.
Mengingat pergantian hari dan tanggal dalam kalender Islam terjadi saat Matahari terbenam, kita juga harus meninjau waktu terbenam Matahari pada hari terjadinya konjungsi tersebut atau sehari sesudahnya. Hal ini diperlukan untuk membandingkan apakah waktu konjungsi tersebut terjadi sebelum Matahari terbenam di wilayah yang ditinjau ataukah setelahnya. Berdasarkan perhitungan, Matahari terbenam di Indonesia pada 8 Juli 2013 paling awal terjadi pada pukul 17 : 33 WIT di Merauke, Papua, dan paling akhir terjadi pada pukul 18 : 57 WIB di Sabang, Aceh. Sebagai tambahan, kita juga dapat menghitung waktu terbenamnya Matahari di kota Yogyakarta (kota yang dijadikan sebagai kota acuan dalam hisab yang digunakan oleh Muhammadiyah) dan kota Pelabuhan Ratu (kota yang dijadikan sebagai kota acuan dalam hisab yang digunakan oleh Pemerintah dan sejumlah organisasi). Di kota Yogyakarta Matahari terbenam pukul 17 : 34 WIB. Adapun di kota Pelabuhan Ratu Matahari terbenam pukul 17 : 51 WIB. Dari perbandingan antara waktu konjungsi dan waktu Matahari terbenam di semua kota di atas, kita ketahui bahwa bahwa konjungsi terjadi sebelum Matahari terbenam tanggal 8 Juli 2013 di seluruh wilayah Indonesia.
Data astronomis Bulan yang penting untuk diketahui saat Matahari terbenam adalah tinggi Bulan/Hilal, Elongasi atau jarak sudut antara Bulan dan Matahari, Umur Bulan yaitu selisih waktu antara Matahari terbenam di suatu lokasi dengan saat konjungsi, Lag yaitu selisih waktu terbenam Bulan dan Matahari, dan fraksi Illuminasi Bulan. Data tersebut dirangkum sebagai berikut:
- Tinggi Hilal di Indonesia antara -0,96º sampai dengan 0,45º.
- Elongasi di Indonesia antara 4,45º sampai dengan 4,92º.
- Umur Bulan di Indonesia antara 1,31 jam sampai dengan 4,71 jam.
- Lag di Indonesia antara -3,33 menit sampai dengan 3,38 menit.
- Fraksi Illuminasi Bulan di Indonesia antara 0,15 % sampai dengan 0,18 %.
Sebagaimana diuraikan di atas dalam penentuan awal bulan Hijriah di Indonesia sendiri, tinggi Hilal-lah yang sangat dikenal hingga saat ini. Peta ketinggian Hilal di Indonesia saat Matahari terbenam tanggal 8 Juli 2013 dapat dilihat pada Gambar 1. Sebagaimana dimaksud BMKG, tinggi Hilal pada Gambar 1 ini adalah tinggi pusat piringan Bulan dengan efek refraksi telah diikutsertakan dalam perhitungan dan elevasi lokasi pengamat dianggap 0 meter dari atas permukaan laut.
Gambar 2. Ilustrasi Piringan Bulan dan Hilal. |
Perbedaan paling utama dalam hal ini adalah titik acuan tinggi Hilal pada piringan Bulan, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2. Hingga saat ini titik acuan tinggi Bulan yang digunakan secara standar oleh astronom di dunia, adalah titik tengah piringan Bulan, yaitu titik A, terlepas dari apapun fase Bulan saat itu. Adapun titik acuan tinggi Hilal yang digunakan oleh banyak ormas di Indonesia dan Pemerintah (berdasarkan Keputusan Lokakarya Mencari Format Kriteria Awal Bulan Hijriah di Indonesia Tahun 2011 di Cisarua, Bogor) adalah titik terbawah pada piringan bawah Bulan, yaitu titik B. Sementara titik acuan tinggi Hilal yang digunakan oleh Muhammadiyah adalah piringan teratas Bulan, yaitu titik C. Sementara titik D digunakan sebagai acuan oleh para pemburu Hilal dengan teleskop dan detektornya. Hal ini dapat dilihat, misalnya pada perangkat lunak Accurate Times yang digunakan oleh M. S. Odeh. Ketinggian titik D ini akan selalu berada antara ketinggian titik A dan B, bergantung pada konfigurasi posisi Bulan, Matahari dan letak geografis pengamat.
Sebagaimana kita tahu, Bulan adalah benda bulat dan dari kejauhan akan tampak berupa piringan, terlepas ia dalam fase apapun. Satu piringan Bulan yang tampak dari Bumi (jarak sudut antara titik B dan C di ilustrasi di atas) adalah sekitar 0,5º. Karena itu dengan mudah dapat dikatakan bahwa jarak sudut antara titik A ke titik B, C atau D adalah sekitar 15’ atau sekitar 0,25º. Dengan memperhatikan ilustrasi di atas juga kita akan mengetahui bahwa tinggi Hilal yang dinyatakan oleh Muhammadiyah akan berbeda sekitar 0,5º dari tinggi Hilal yang dinyatakan oleh ormas lain, misalnya Nahdatul Ulama (NU). Meskipun nilai di atas kecil, namun akan sangat menentukan awal awal bulan Hijriah; khususnya jika ketinggian Hilal berada pada nilai yang kritis.
Aplikasi Informasi Astronomis Hilal Pada Berbagai Hisab Dengan Kriteria yang Berbeda
Saat ini dikenal beragam kriteria hisab dan tiga diantaranya dikenal dan diterapkan oleh sejumlah organisasi di Indonesia. Kini kita akan membahas aplikasi informasi astronomis Hilal yang dibahas pada bagian sebelumnya pada tiga kriteria hisab yang digunakan di Indonesia. Ketiga kriteria tersebut adalah Wujudul Hilal yang digunakan oleh Muhammadiyah, kriteria Imkanurrukyat MABIMS yang digunakan oleh sejumlah organisasi dan Pemerintah, dan kriteria Imkanurrukyat LAPAN yang digunakan oleh Persatuan Islam (Persis).
a. Wujudul Hilal
Kriteria Wujudul Hilal ini dapat dilihat pada Pedoman Hisab Muhammadiyah [6: hlm. 78]. Isinya adalah:
- telah terjadi ijtimak (konjungsi)
- ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan
- pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).
Karena Muhammdiyah menyatakan bahwa pada saat terbenamnya Matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud), sesungguhnya secara astronomis hal ini setara dengan pernyataan bahwa “Bulan terbenam lebih lambat daripada terbenamnya Matahari”. Saat Bulan terbenam sama dengan saat terbenamnya Matahari itulah yang dinyatakan dengan Lag = 0. Jadi, kita dapat mengetahui di daerah mana saja yang Lag-nya 0 atau positif atau negatif dari peta Lag. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3 berikut. Pada Gambar 3 tersebut, kita lihat bahwa garis wujudul hilal (setara dengan Lag = 0) membelah Indonesia. Hal inilah yang memaksa kita untuk memahami suatu konsep yang disebut “Wilayatul Hukmi” yang diterapkan oleh Muhammadiyah. Sederhananya, konsep ini adalah jika di suatu daerah (dalam hal ini kota Yogyakarta) Lag-nya sudah > 0, maka daerah lain yang masih satu wilayah hukum (dalam hal ini satu negara Indonesia) dianggap mengikuti daerah acuan tersebut, walaupun daerah lain itu Lag-nya < 0. Dengan demikian, pada saat Matahari terbenam di Indonesia, ketiga unsur dalam kriteria wujudul hilal di atas terpenuhi hasil-hasil sudah terpenuhi di Indonesia secara keseluruhan.
Gambar 3. Peta Lag di Indonesia saat Matahari terbenam tanggal 8 Juli 2013. Kredit: BMKG |
b. Imkanurrukyat MABIMS
Kriteria Imaknurrukyat MABIMS atau yang dikenal juga dengan kriteria 2-3-8 dapat dilihat pada hasil Keputusan Lokakarya Mencari Format Kriteria Awal Bulan Hijriah di Indonesia Tahun 2011 [5]. Isinya adalah:
- tinggi hilal minimal 2º dan,
- jarak sudut Matahari dan Bulan minimal 3º atau umur Bulan minimal 8 jam. (Syarat pertama wajib dan syarat kedua opsional).
Hal inipun berlaku di seluruh Indonesia, karena tinggi Hilal tertinggi, elongasi terbesar dan umur Bulan terlama belum memenuhi kriteria MABIMS di seluruh Indonesia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa saat Matahari terbenam di Indonesia tanggal 8 Juli 2013, berdasarkan kriteria MABIMS ini, bulan Hijriah belum berganti dari bulan Sya’ban ke bulan Ramadhan 1434 H. Dengan demikian, bulan Sya’ban akan diistikmalkan (dibulatkan) menjadi 30 hari. Konsekuensinya, shalat Tarawih dimulai pada 9 Juli 2013 malam dan shaum Ramadhan dimulai pada 10 Juli 2013.
c. Imkanurrukyat LAPAN
Kriteria Imkanurrukyat LAPAN ini diusulkan oleh Thomas Djamaluddin dan diterapkan oleh Persis. Isi kriterianya adalah:
- Jarak sudut Bulan-Matahari > 6,4º.
- Beda tinggi Bulan-Matahari > 4º.
Prediksi Kemungkinan Teramati Tidaknya Hilal Penentu Awal Ramadhan 1434 H
Selain prediksi awal Ramadhan 1434 H, prediksi lain yang juga penting untuk diketahui, khususnya bagi para perukyat, adalah prediksi teramati tidaknya Hilal penentu awal Ramadhan 1434 H. Berdasarkan uraian di atas, kita sebenarnya sudah bisa mengetahui kemungkinan teramati tidaknya Hilal setelah Matahari terbenam pada tanggal 8 Juli 2013 nanti. Sebagai catatan, dalam hal ini kita tidak bisa menggunakan kriteria wujudul hilal untuk memprediksikan kemungkinan teramatinya Hilal karena ia hanya berguna untuk memprediksikan awal bulan Hijriah. Dalam hal ini dapat menggunakan kriteria Imkanurrukyat MABIMS dan kriteria Imkanurrukyat LAPAN; terlepas dari ilmiah tidaknya masing-masing kriteria tersebut. Ini karena imkanurrukyat sendiri adalah kemungkinan teramati tidaknya Hilal. Secara astronomis, istilah ini dikenal dengan nama visibilitas Hilal dan kriterianya dikenal dengan nama kriteria visibilitas Hilal.
Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, kita ketahui bahwa kriteria imkanurrukyat MABIMS dan kriteria imkanurrukyat LAPAN belum terpenuhi saat Matahari terbenam pada tanggal 8 Juli 2013 nanti. Jika saat Matahari terbenam saja sudah tidak terpenuhi apakah lagi setelah Matahari terbenam. Ini karena ketinggian Bulan yang rendah saat Matahari terbenam. Semakin bertambahnya waktu, ketinggiannya pun akan semakin rendah dan akhirnya terbenam. Karena itulah berdasarkan kedua kriteria di atas, kemungkinan Hilal untuk teramati sangatlah kecil, jika tidak dikatakan tidak bisa.
Hal itu pun diperkuat dengan prediksi visibilitas Hilal berdasarkan kriteria Odeh yang mengikutsertakan faktor lebar sabit Hilal dalam prediksinya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah yang dihasilkan dari perangkat lunak Accurate Times. Pada Gambar 4, di bawah daerah yang diarsir berwarna merah adalah saat Matahari terbenam Hilal sudah di bawah horizon (setara dengan Lag < 0). Karena itu perbatasan antara daerah yang diarsir berwarna merah dengan daerah yang tidak diarsir (berawarna putih) adalah garis wujudulhilal. Untuk daerah Indonesia, garis ini bertepatan dengan garis Lag = 0 pada Gambar 3 di atas.
Dalam hal ini kita juga perlu untuk memperhatikan daerah yang diarsir di sekitar Australia dan Indonesia Timur. Garis yang membelah Australia dan Indonesia timur itu adalah garis umur Bulan, dengan konjungsinya dianggap sebagai konjungsi toposentrik (konjungsi berdasarkan pengamat di permukaan Bumi). Definisi konjungsi yang digunakan oleh Odeh ini berbeda dengan konjungsi yang umum digunakan di Indonesia, yaitu konjungsi geosentrik (pengamat diandaikan berada di pusat Bumi). Pada daerah yang tidak diarsir (berawarna putih) adalah daerah dengan kemungkinan teramatinya Hilal sangat kecil (not possible). Adapun Hilal diprediksikan baru akan teramati di daerah yang diarsir berwarna biru. Itu pun dengan bantuan penggunaan alat, misalnya teleskop. Baru pada daerah yang diarsir dengan berwarna ungu-lah, Hilal baru mungkin teramati tanpa bantuan alat.
Dengan memperhatikan peta visibilitas Hilal ini, dapat disimpulkan bahwa kemungkinan Hilal untuk teramati dari daerah Indonesia dengan lag yang negatif adalah tidak mungkin. Adapun kemungkinan Hilal untuk teramati dari daerah Indonesia dengan lag yang positif adalah sangat kecil, jika tidak dikatakan tidak bisa (not possible).
Gambar 4. Peta Visibilitas Hilal menurut kriteria Odeh. Gambar dari perangkat lunak Accurate Times.
|
Perbedaan Ketinggian Bulan (sabit tipis) terhadap Matahari tgl 8 Juli (kiri) & 9 Juli (kanan) dari hasil simulasi pengamatan menggunakan Stellarium. |
Catatan penting: Tulisan ini hanya memaparkan hasil perhitungan astronomis tentang Hilal dan penggunaannya pada kriteria hisab yang berbeda serta prediksi kemungkinan teramati atau tidaknya Hilal penentu awal Bulan Ramadhan 1434 H. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menentukan awal bulan Ramadhan 1434 H, karena yang berwenang untuk menentukan hal itu adalah pihak yang berwenang.
SOURCE : http://langitselatan.com/2013/07/07/prediksi-awal-ramadhan-1434-h-dan-kemungkinan-teramati-hilal-8-juli-2013/
Makasih infonya dan Selamat menunaikan ibadah puasa, semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT.
ReplyDelete