keraton yogya |
Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti [[Portugis]], [[Belanda]], bahkan [[Cina]]. Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan ”’Bangsal”’ sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan ”’Gedhong”’ (gedung). Selain itu ada bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut ”’Tratag”’. Pada perkembangannya bangunan ini beratap seng dan bertiang besi.
Permukaan atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari sirap, genting tanah, maupun seng dan biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang utama yang di sebut dengan ”Soko Guru” yang berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau hitam dengan ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas maupun yang lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna senada dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal Manguntur Tangkil) memiliki ornamen ”Putri Mirong”, stilasi dari kaligrafi [[Allah]], [[Muhammad]], dan ”Alif Lam Mim Ra”, di tengah tiangnya.
Untuk batu alas tiang, ”Ompak”, berwarna hitam dipadu dengan ornamen berwarna emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun dinding pemisah kompleks. Lantai biasanya terbuat dari batu pualam putih atau dari ubin bermotif. Lantai dibuat lebih tinggi dari halaman berpasir. Pada bangunan tertentu memiliki lantai utama yang lebih tinggimisal pada Bangsal Witono dan Bangsal Kencono. Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan batu persegi yang disebut ”Selo Gilang” tempat menempatkan singgasana Sultan.
Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya termasuk kedekatannya dengan jabatan penggunanya. Kelas utama misalnya, bangunan yang dipergunakan oleh Sultan dalam kapasitas jabatannya, memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan dengan kelas dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka ornamen semakin sederhana bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta bentuk bagian atau keseluruhan dari bangunan itu sendiri.Pada bagian ini buku Chamamah Soeratno et. al. digunakan di sebagian besar tulisan. Deskripsi berasal dari teks maupun dari foto-foto yang ada. Selain itu juga digunakan buku Murdani Hadiatmadja.
Gerbang utama untuk masuk ke dalam kompleks Keraton Yogyakarta dari arah utara adalah Gapura Gladhag dan Gapura PangurakanPangurakan berasal dari kata “urak” dapat dimaknai daftar jaga atau pengusiran. yang terletak persis beberapa meter di sebelah selatannya. Kedua gerbang ini tampak seperti pertahanan yang berlapisChamamah Soeratno et. al. begitu pula dengan Murdani Hadiatmadja.. Pada zamannya konon Pangurakan merupakan tempat penyerahan suatu daftar jaga atau tempat pengusiran dari kota bagi mereka yang mendapat hukuman pengasingan/pembuanganMurdani Hadiatmadja..
Versi lain mengatakan ada tiga gerbang yaitu Gapura Gladhag, Gapura Pangurakan nJawi, dan Gapura Pangurakan LebetPocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media).. Gapura Gladhag dahulu terdapat di ujung utara Jalan Trikora (Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Bank BNI 46) namun sekarang ini sudah tidak adaOn location [[Desember]] [[2007]]. Di sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan nJawi yang sekarang masih berdiri dan menjadi gerbang pertama jika masuk Keraton dari utara. Di selatan Gapura Pangurakan nJawi terdapat Plataran/lapangan Pangurakan yang sekarang sudah menjadi bagian dari Jalan Trikora. Batas sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan Lebet yang juga masih berdiriOn location [[Desember]] [[2007]]. Selepas dari Gapura Pangurakan terdapat Kompleks Alun-alun Ler.
=== Alun-alun Ler === |
Alun-alun Ler adalah sebuah lapangan berumputAslinya Alun-alun ditutupi dengan pasir dari pantai selatan (Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat [Media]) di bagian utara Keraton Yogyakarta. Dahulu tanah lapang yang berbentuk persegi ini dikelilingi oleh dinding pagar yang cukup tinggiGambaran dinding pagar di sekeliling alun-alun yang relatif masih seperti aslinya dapat dilihat di Alun-alun Kidul, dimana dinding yang mengelilingi masih dapat disaksikan lebih utuh (On location [[Desember]] [[2007]]). Sekarang dinding ini tidak terlihat lagi kecuali di sisi timur bagian selatan. Saat ini alun-alun dipersempit dan hanya bagian tengahnya saja yang tampak. Di bagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka untuk umum.
Di pinggir Alun-alun ditanami deretan pohon Beringin (”Ficus benjamina”; famili ”Moraceae”) dan ditengah-tengahnya terdapat sepasang pohon beringin yang diberi pagar yang disebut dengan ”’Waringin Sengkeran/Ringin Kurung”’ (beringin yang dipagari). Kedua pohon ini diberi nama ”’Kyai Dewadaru”’ dan ”’Kyai Janadaru”’Versi lain bernama Kyai Dewadaru dan Kyai Jayadaru/Wijayadaru.. Pada zamannya selain Sultan hanyalah ”Pepatih Dalem ”Pepatih Dalem adalah pegawai kerajaan tertinggi yang diangkat oleh Sultan untuk mengelola kerajaan. yang boleh melewati/berjalan di antara kedua pohon beringin yang dipagari ini. Tempat ini pula yang dijadikan arena rakyat duduk untuk melakukan “Tapa Pepe”Tapa Pepe bermakna menjemur diri. Tapa Pepe dapat dilihat sebagai sebuah cermin nilai-nilai demokrasi yang dibungkus oleh kearifan lokal dalam bentuk demonstrasi secara tertib, tidak anarkis, dan tunduk pada aturan main yang telah ditetapkan. Peristiwa terakhir konon terjadi pada zaman Sultan Hamengkubuwono VIII ketika rakyat tidak sanggup untuk membayar pajak yang ditetapkan oleh ”Pepatih Dalem” bersama Gubernur Belanda di Yogyakarta. saat Pisowanan AgengPisowanan ageng bermakna pertemuan besar. Dalam kegiatan ini rakyat dan pejabat menghadap/menemui Sultan sebagai tanda kesetiaan mereka kepada Sultan dan Kesultanan. sebagai bentuk keberatan atas kebijakan pemerintahPocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media).. Pegawai /abdi-Dalem Kori akan menemui mereka untuk mendengarkan segala keluh kesah kemudian disampaikan kepada Sultan yang sedang duduk di Siti Hinggil.
Di sela-sela pohon beringin di pinggir sisi utara, timur, dan barat terdapat pendopo kecil yang disebut dengan ”’Pekapalan”’, tempat transit dan menginap para Bupati dari daerah Mancanegara KesultananMurdani Hadiatmadja.. Bangunan ini sekarang sudah banyak yang berubah fungsi dan sebagian sudah lenyap. Dahulu dibagian selatan terdapat bangunan yang sekarang menjadi kompleks yang terpisah, Pagelaran.
Pada zaman dahulu Alun-alun Ler digunakan sebagai tempat penyelenggaraan acara dan upacara kerajaan yang melibatkan rakyat banyak. Di antaranya adalah upacara garebeg serta sekaten, acara watangan serta rampogan macan, pisowanan ageng, dan sebagainya. Sekarang tempat ini sering digunakan untuk berbagai acara yang juga melibatkan masyarakat seperti konser-konser musik, kampanye, rapat akbar, tempat penyelenggaraan ibadah hari raya Islam sampai juga digunakan untuk sepak bola warga sekitar dan tempat parkir kendaraan.
=== Mesjid Gedhe Kasultanan === |
Di depan masjid terdapat sebuah halaman yang ditanami pohon tertentu. Di sebelah utara dan selatan halaman (timur laut dan tenggara bangunan masjid raya) terdapat sebuah bangunan yang agak tinggi yang dinamakan ”’Pagongan”’. Pagongan di timur laut masjid disebut dengan Pagongan Ler (Pagongan Utara) dan yang berada di tenggara disebut dengan Pagongan Kidul (Pagongan Selatan). Saat upacara Sekaten, Pagongan Ler digunakan untuk menempatkan gamelan sekati ”Kangjeng Kyai (KK) Naga Wilaga” dan Pagongan Kidul untuk gamelan sekati ”KK Guntur Madu”. Di barat daya Pagongan Kidul terdapat pintu untuk masuk kompleks masjid raya yang digunakan dalam upacara ”Jejak Boto”Jejak Boto secara harfiah bermakna menendang batu bata. pada upacara Sekaten di tahun Dal. Selain itu terdapat Pengulon, tempat tinggal resmi ”Kangjeng Kyai Pengulu”semacam Menteri Agama/Imam Agung/Mufti Kerajaan. di sebelah utara masjid dan pemakaman tua di sebelah barat masjid.
Comments
Post a Comment